Gadis Yang Hilang
Judul Cerpen Gadis Yang Hilang
Cerpen Karangan:
Shafa HitaKategori:
Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 5 November 2016
Hot news “terjadi lagi! Seorang anak perempuan berusia 14 tahun
hilang, polisi belum menemukan petunjuk apapun mengenai kasus ini,
dugaan sementara ini adalah kasus penculikan mengingat sudah lima orang
anak perempuan hilang dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan.
Pencarian terus dilakukan…” suara TV terus menyala sementara Nala sedang
berpikir. Tentu saja hal ini tidak akan ia pikirkan jika kasus itu
bukan terjadi di kotanya. Di luar banyak wartawan dan polisi serta warga
berbondong-bondong mendatangi rumah keluarga Trian, ya anak perempuan
mereka yang seusia dengan Nala telah hilang sejak dua hari lalu.
Saat itu Nala menatap sekeliling, sangat ramai dan berisik.
Ketakutan, kekhawatiran, kebingungan melekat pada setiap orang di kota
itu saat ini. Kebetulan Tiana, anak dari keluarga Trian adalah tetangga
sekaligus teman sekolahnya. Rumahnya hanya berjarak empat rumah dari
rumah Nala.
Nala harus ke luar rumah, mau tidak mau karena ia dipanggil oleh
polisi untuk dimintai keterangan. Bukan hanya Nala namun Clarisa sahabat
Nala juga karena diketahui Tiana terakhir kali bersama Clarisa sebelum
ia dinyatakan hilang.
Wawancara dengan polisi terasa singkat namun ada ketegangan di hati
Nala saat itu. Ia memberikan keterangan semampunya, ia menceritakan
kedekatan mereka di rumah dan di sekolah, lalu tentang bagaimana Tiana
bersikap terakhir kali. Menurutnya tidak ada yang aneh dari Tiana,
semuanya normal-normal saja. Dan wawancara pun selesai, polisi telah
mendapatkan keterangan yang cukup.
Saat ke luar dari ruang wawancara itu, Nala bertemu dengan Clarisa
yang baru saja selesai dengan wawancaranya di ruang sebelah. Clarisa
terlihat tidak nyaman, ketakutan dan terlihat bingung.
“hei claris” sapa Nala “ada apa? Apa mereka menyakitimu? Kau terlihat tidak nyaman” tanya Nala ragu-ragu.
“oh, hai Nal” jawabnya agak kikuk. Clarisa berjalan pelan menuju kursi
panjang di tengah lorong di ikuti Nala lalu duduk. “yaahh, kau tahu
mereka tidak akan menyakitiku kan, hanya saja aku ragu apakah
keteranganku dapat membantu atau tidak. Kau tahu sendiri, aku memang
bersama dengan Tiana karena kami harus menyelesaikan laporan kami di
sekolah, tapi saat pulang sepertinya aku tidak bersamanya karena yang
aku ingat hanyalah aku pulang sendiri dan saat itu kepalaku terasa
pusing dan entah bagaimana aku sudah di rumah lalu tidak ingat apa pun
tentang Tiana” papar Clarisa, sepertinya ia masih terguncang karena
dia-lah yang seharusnya jadi saksi kunci hilangnya Tiana.
“aku tahu kau mungkin takut” seru Nala, Clarisa mengangguk. Nala
memikirkan motif sang pelaku karena belum genap sebulan yang lalu Tiana
lah yang menjadi saksi kunci dan menurut paparan polisi Tiana sama
sekali tidak ingat tentang apapun kejadian di hari itu. Ini hal yang
aneh, pikir Nala dan mungkin polisi juga menyadari tentang ini namun
yang lebih aneh lagi polisi belum menemukan satu pun barang bukti. Wooww
apa saja yang dikerjakan para polisi ini, keluh Nala dalam hati.
“Nal, apa kau berpikir aku akan menjadi korban selanjutnya?” seru
clarisa sedih, matanya berkaca-kaca dan tangannya terlihat gemetar.
“hei, kau benar-benar berpikir ini adalah kasus penculikan? Bisa saja
gadis-gadis itu sengaja kabur dan membuat perserikatan kebebasan
gadis-gadis misalnya? Ini belum tentu benar-benar penculikan”.
“dan jika ini benar kasus penculikan?” tanya Clarisa, Nala agak bingung dan kikuk.
“kalau begitu aku tidak akan membiarkanmu jadi korban selanjutnya” jawab Nala ragu-ragu. Clarisa tersenyum penuh kelegaan.
“lalu kau yang akan jadi korbannya?” Clarisa bergurau iseng lalu Nala tertawa pahit.
Hari itu cuaca sangat panas, matahari berada pada puncaknya dan
sangat membakar. Tenggorokan Nala kering dan Clarisa terlihat sangat
lelah setelah latihan voli. Mereka berjalan tertatih-tatih sangat berat
rasanya berjalan di tengah hari yang panas. Di sudut jalan Nala melihat
mesin minuman, sepertinya akan terasa lebih baik jika mereka duduk
sebentar menikmati sekaleng minuman dingin. Tanpa berpikir dua kali
mereka menghampiri mesin itu dan membeli dua kaleng minuman.
Di sebelah kanan jalan itu terdapat hutan buatan, sengaja pak
walikota membuat hutan itu puluhan tahun yang lalu karena hampir tidak
ada pohon di sepanjang jalan. Angin dingin berhembus perlahan dari arah
hutan, Nala menatap lekat-lekat ke arah hutan itu. Suasana hutan terasa
sangat seram walau di siang hari mungkin karena banyak cerita-cerita
seram yang tersebar di kalangan masyarakat, namun ia segera
mengacuhkannya. Beberapa saat kemudian muncul anak laki-laki mungkin
usianya sekitar 16 atau 17 tahun. Anak laki-laki itu berjalan perlahan
dan sangat berhati-hati seperti memastikan tak ada yang melihatnya. Ia
belum melihat Nala dan Clarisa, dengan cepat Nala menarik Clarisa
bersembunyi di balik mesin minuman. Clarisa tersentak kaget dengan
tarikan tiba-tiba itu lalu dengan sigap Nala memberi isyarat untuk tidak
berbicara dan tidak bergerak. Anak laki-laki itu kemudian keluar dari
hutan dan segera berlari tanpa tahu ada seseorang yang mengintipnya.
“ada apa sih Nal?” tanya Clarisa bingung.
“Hah? Kau tidak melihatnya? Laki-laki ituuu.. laki-laki itu ke luar dari
hutan, mengendap-endap lalu berlari dengan cepat. Dan kau tahu apa? Di
bajunya.. di bajunya ada percikan darah” clarisa tersentak kaget,
mulutnya menganga lebar tidak percaya. Ia memang tidak sempat menoleh
karena isyarat dari Nala.
“yang benar saja!”.
“sungguh, aku serius! Aku curiga, tidak ada yang pernah pergi ke hutan
itu kau tahu kan claris? Mungkin.., mungkin dia ada kaitannya dengan
hilangnya para gadis” Clarisa tak dapat berkata-kata ia hanya melongo
kaget dan tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Tapi mungkin
Nala benar, pikirnya. Mungkin laki-laki itu ada kaitannya dengan kasus
ini. “aku tahu, kita akan buktikan!. Jika polisi tidak bisa
menyelesaikan kasus ini, kita yang akan buktikan. Kau mau kan membantuku
claris?”.
“mm.. hh.. aku tidak yakin Nal apa aku sanggup”.
“tentu saja kau sanggup, kita hanya perlu datang lagi kesini besok
menunggu ia keluar dari hutan dan kita akan melihat apa yang ia lakukan”
Clarisa mengangguk penuh keraguan ia benar-benar tak yakin akan
keputusan Nala.
Ini sudah pukul dua siang dan belum ada tanda-tanda seseorang berada
di dalam hutan. Nala dan Clarisa terus menunggu dengan sabar di balik
mesin minuman. Mereka telah berdiri di situ selama dua jam dan Clarisa
mulai tidak tahan.
“ini sia-sia Nal, kau lihat? Tidak ada tanda-tanda dia akan muncul.
Mungkin memang sebaiknya kita serahkan kasus ini kepada polisi. Atau
lebih baik kita lupakan saja, anggap saja semua tidak pernah terjadi”.
“tapii.. tapi.. aku yakin dia akan muncul kita hanya perlu menunggu
sebentar lagi oke?” Clarisa menyerah setuju mengikuti instruksi Nala.
Hari sudah sangat sore dan matahari hampir tenggelam. Hutan itu
mengeluarkan aura bayang-bayang kelam yang sangat menyeramkan. Angin
berhembus kencang mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Mereka terus
menunggu dengan sabar. Clarisa mulai tidak tahan ia mulai merasa takut,
hutan itu seperti memanggil, seperti jebakan tikus rasanya semua yang
masuk akan terjebak selamanya.
“kita hentikan saja Nal, aku mau pulang! Ayolah ini hanya buang-buang waktu”.
“ayolah Claris.. sebentar lagi yaa hanya sebentar” bujuk Nala. Tak lama
kemudian seorang anak laki-laki muncul menyeret dua karung besar di
tangannya. Nala dan Clarisa molongo tak percaya, tubuh mereka kaku
seketika melihat kejadian itu. Hujan mulai turun setitik demi setitik
membasahi jalan dan pohon-pohon. Anak laki-laki itu terlihat sangat
kesulitan menarik kedua karung yang beratnya mungkin sekitar 100kg jika
digabungkan. Nala dan Clarisa gemetar tubuh mereka lemas, mungkinkah?
Mungkinkah di dalam karung-karung itu ada tubuh manusia?, tak berpikir
lagi Nala dan Clarisa berlari secepat yang mereka bisa menuju rumah
masing-masing.
“kita harus ke hutan!” seru Nala bersemangat.
“apa?? Tidaak tidaak, sebaiknya kita lapor polisi saja. Aku tidak mau berurusan dengan pembunuh kau tahu?”.
“tidak bisa, kita harus mendapatkan bukti lebih banyak lagi baru setelah itu kita lapor polisi”.
“aku tidak mau Nala! Pokoknya aku tidak mau! dan aku tidak akan pernah
mau! Apa kau tak berpikir? Itu terlalu berbahaya! Kau tahu hutan itu
sangat berbahaya dan laki-laki itu juga berbahaya! Aku tidak akan
membiarkanmu kesana”.
“kau tahu dari mana hutan itu berbahaya?” Clarisa sedikit kikuk dan mencoba membujuk Nala.
“ya kau tahu kan banyak cerita seram tentang hutan itu, dan aku sama sekali tidak ingin kau celaka”.
“aku tidak akan kenapa-kenapa dan kau juga, kita akan baik-baik saja”.
“kau tahu dari mana? Tidak aku tidak akan baik-baik saja jika masuk ke
hutan itu, tidakkah kau mengerti Nal? Aku begitu ketakutan”.
“oke baiklah, aku akan pergi sendiri. Dan kau tidak akan menghalangi
aku. Jika kau tidak percaya lapor saja ke polisi jika aku tidak kembali
dalam dua jam oke?” Nala terus berlalu tak memedulikan sahabatnya itu.
Clarisa tak dapat berbuat apa-apa lagi ia hanya bisa pasrah.
Beberapa waktu kemudian Nala telah berada dalam hutan, ternyata hutan
itu tak seperti tampak luarnya, disini begitu sejuk dan menenangkan.
Banyak kicauan burung dan angin sepoi-sepoi. Begitu sepi disini hanya
ada suara burung bernyanyi, Nala mulai menelusuri dalam hutan itu
mencari-cari apapun petunjuk yang bisa ia temukan tapi tak ada apapun.
Ia berjalan, berjalan dan terus berjalan hingga putus asa. Ia berpikir
akan ke luar saja dari hutan itu sampai ia mendengar seseorang
berteriak.
“Aaaaaaa” suara seorang gadis, Nala tersentak ia agak takut namun
membulatkan tekad untuk menghampiri asal suara itu. Sesaat setelahnya ia
terdiam membeku. Seorang gadis terduduk layu dan seorang laki-laki
berdiri di depannya memegang pisau. Nala bergidig ngeri dan takut, ia
mulai lemas dan pusing melihat banyak darah tercecer di tanah, ia lalu
berteriak.
“Aaaaaaaaaaaaa” kedua orang itu sontak menoleh dan ikut kaget melihat
seorang gadis terkulai lemas di tanah menutupi wajahnya. Laki-laki itu
menghampiri gadis itu.
“kau kenapa?” serunya “sedang apa kau disini?” Nala masih menutupi wajahnya, tubuhnya gemetar tak karuan.
“kauuu.. kaauuu pembunuh!” teriaknya namun masih menutupi wajahnya, ia
tak berani melihat laki-laki itu takut akan melihat tubuhnya ditusuk
oleh pisau yang tajam.
“apa? Aku pembunuh? Hey yang benar saja! Eh.. tapi kau benar juga aku
memang membunuh untuk bertahan hidup tapi tentu saja bukan manusia” Nala
mulai melepas kedua tangannya menatap laki-laki itu lekat-lakat.
“kau.. kau kan yang selama ini menculik para gadis, dan gadis itu yang
kakinya terikat di pohon, dia kan korban selanjutnya?” tuduh Nala tak
sabar.
“apaaa??” seru laki-laki itu kaget, gadis yang terikat itu juga sama
kagetnya. “mana mungkin aku menculik adikku sendiri apa lagi sampai
membunuhnya, kau pikir aku gila?”.
“lalu mengapa kau mengikatnya?” laki-laki itu teringat sesuatu lalu ia
menghampiri gadis yang terikat lalu memotong tali di kakinya.
“ya seperti yang kau lihat kami sedang berburu dan aku terkena jebakanku
sendiri makanya aku berteriak agar kakakku datang karena ini perburuan
pertamaku” jelas gadis itu. Nala kaget tak percaya karena selama ini ia
hanya salah paham.
“jadi yang kemarin itu kau menyeret karung hasil buruanmu?”.
“ohh jadi kau yang berlari berteriak?”.
“maafkan aku, aku telah salah paham pada kalian, baik lah aku akan
pulang sekarang karena sudah mulai gelap, jadi sekali lagi maafkan aku”
muka Nala memerah ia sangat malu karena telah menuduh orang yang tak
bersalah sama sekali namun ia lega karena ternyata ia tidak bertemu
dengan orang jahat. Secepat hembusan angin sore ia berlari ke luar hutan
dan sesaat kemudian ia bertemu Clarisa menunggu di depan mesin minuman.
“hei Claris! Kau tahu apa? Kita salah paham.. ternyata laki-laki itu
hanya berburu dan bukan pelaku penculikan. Betapa bodohnya aku mengira
dia pelakunya”.
“kau terlalu bodoh Nal, kau melakukan kesalahan besar”.
“iya kau benar jelas aku melakukan kesalahan menuduh seseorang yang bahkan tidak tahu apa-apa”.
“haaah betapa bodohnya kau, harusnya ini belum saatnya tapi aku harus
melakukannya sekarang” seru Clarisa sinis, ia terlihat kesal.
“maksudmu? Melakukan apa? Apa yang belum saatnya?”. Jantung Nala mulai
bergetar, suasana sempat hening sesaat ia hanya dapat mendengar detak
jantungnya.
“kau tahu, sebenarnya itu memang bukan kasus penculikan tapi gadis-gadis
itu tak akan pernah kembali lagi karena mereka telah mati”.
“heyy nona sok tahu! Tahu dari mana kau soal itu”. Nala mulai berkeringat, napasnya naik turun mulai tak teratur.
“apa kau bodoh? Sudah jelas aku tahu karena aku pelakunya Nala! Aku
hhaha” Clarisa tertawa terbahak-bahak seperti bukan dia biasanya. Nala
sangat kenal Clarisa jadi dia tahu itu bukan Clarisa sahabatnya. Jadi ia
menyadari sesuatu.
“oh tuhan, tidak mungkin” Nala bergidig ngeri, napasnya tercekat,
tubuhnya lemas, kaku tak berdaya. Ia harus lari, ia harus lari sekarang.
Ia mulai berteriak tapi yang keluar hanya pekikan kecil karena tak bisa
menahan sedih dan takut perasaannya sangat kacau. Dengan bersusah payah
ia berlari, berharap ada seseorang disana yang dapat menyelamatkannya.
Ia tahu bahwa itu bukan sahabatnya Clarisa ia telah menyadari bahwa
makhluk itu telah membunuh Clarisa sejak awal dan mengambil raganya,
lalu Ia mulai berlari, berlari secepat yang ia bisa memanggil siapapun
yang dapat mendengarnya. Kepalanya mulai pening, perutnya mual segalanya
mulai berputar dan seketika semua gelap.
Dua hari kemudian Clarisa dinyatakan hilang, polisi kembali mewawancarai Nala karena saat ini ialah yang menjadi saksi kunci.
“jadi nona Nala setelah terakhir kau bertemu Clarisa apa kau tahu apa yang terjadi padanya?”.
“tidak aku tidak ingat apa-apa”.
END
Cerpen Karangan: Shafa Hita
Facebook: Shafa Hita
Wattpad: @shafahita
Cerita Gadis Yang Hilang merupakan cerita pendek karangan
Shafa Hita, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
Komentar
Belum ada komentar. Tulislah komentar pertama!
Komentar Baru
Komentar terbaru dinonaktifkan pada posting ini.